NET |
MKE, Jakarta - Hijrah pertama kali dalam Islam adalah dari Mekah ke Abisinia. Meski mayoritas rakyatnya beragama Kristen, raja yang memerintah negeri itu arif dan tak ada seorang pun yang dianiaya disana. Instruksi untuk berpencar adalah dari Rasulullah SAW sendiri. Kala itu, umat Islam ditimpa cobaan yang semakin berat oleh penyiksaan, pembunuhan, dan pelecehan Kaum Quraisy. Terlebih lagi setelah Abu Bakar dan Hamzah masuk Islam. Kaum Quraisy semakin takut Islam yang dibawa Rasulullah SAW akan menggeser berhala-berhala yang mereka sembah sebelumnya.
Sebelum peristiwa Hijrah ini terjadi, Kaum Quraisy sempat mengutus ‘Utba bin Rabi’ah, seorang bangsawan terkemuka. Ia mengusulkan dirinya sendiri untuk bicara dengan Muhammad SAW. Mungkin, kemenakan Abi Thalib itu mau menghentikan dakwahnya apabila diberi sejumlah harta. Bahkan ia sempat menawarkan pengobatan kepada Muhammad, apabila ia memang menderita
penyakit saraf. Nabi Muhammad membalas perkataannya dengan membacakan Surat As-Sajda.
Alih-alih berhasil membujuk Nabi, ‘Utba kembali ke kaumnya dengan perasaan terpesona akibat mendengar surat tersebut. Ia pun percaya Nabi tidak menginginkan harta kekayaan ataupun sakit, melainkan sedang mengajak umatnya menuju kebaikan, dengan cara yang baik pula. Penjelasan ‘Utba membuat Kaum Quraisy semakin marah. Gangguan terhadap Islam pun semakin menjadi-jadi.
Hijrah ini dilakukan dua kali. Yang pertama terdiri dari sebelas orang pria dan empat wanita. Sebagaimana sudah diprediksi Nabi, mereka mendapat perlindungan dari Raja Najasyi. Ketika mendengar saudara-saudaranya di Mekkah sudah selamat dari gangguan, mereka kembali ke Mekkah. Namun sayang, penyiksaan terjadi lagi sehingga mereka lagi-lagi harus pindah ke Abisinia. Di kali kedua ini, rombongan terdiri dari delapan puluh pria, tanpa didampingi istri dan anak-anaknya. Mereka menetap disana sampai Nabi hijrah ke Yathrib (Madinah)
Kaum Quraisy tidak menyerah begitu saja. Mereka khawatir Islam akan bertambah kuat disana. Beragam hadiah dibawakan untuk Raja Najasyi oleh dua orang utusan, ‘Amr bin ‘l-‘Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’a. Sebagai balasannya, mereka memohon supaya Raja mengembalikan umat Islam ke Mekkah. Kedua orang ini sebenarnya juga sudah mengadakan kesepakatan dengan para pembesar Istana di belakang Raja. Jika mereka membantu membujuk Raja mengembalikan Umat Islam, para pembesar tersebut akan mendapat bagian harta.
“Mereka datang ke negeri paduka ini adalah budak-budak yang tidak punya malu. Mereka meninggalkan agama bangsanya dan tidak pula menganut agama paduka. Mereka membawa agama yang mereka ciptakan sendiri, yang tidak kami kenal dan tidak juga paduka.” Begitulah bujukan dua orang utusan ini, berusaha mengadu domba.
Alhamdulillah, Raja Najasyi menolak memutuskan sebelum mendengar keterangan langsung dari Umat Islam. Ja’far bin Abi Talib adalah yang waktu itu menghadapnya.
“Apa yang membuat kalian meninggalkan agama kalian dan tidak juga memeluk agamaku?” tanyanya.
Jafar berkisah, bahwa kaumnya berada pada masa-masa kelam ketika berhala disembah; bangkai dimakan; hubungan dengan tetangga diputus; serta yang lemah ditindas. Sampai suatu hari Tuhan mengutus seorang Rasul dari kalangannya sendiri. Namanya Muhammad, yang selama ini dikenal sebagai Al-Amin, Yang Terpercaya.
“Adakah ajaran Tuhan yang dibawanya itu yang dapat dibacakan pada kami?” tanya Raja Najasyi lagi.
Lalu Ja’far membacakan Surat Maryam, “Lalu ia memberi isyarat menunjuk kepadanya. Kata mereka: Bagaimana kami akan bicara dengan anak yang masih muda belia? Dia (Isa) berkata : Aku adalah hamba Allah, diberi-Nya aku Kitab dan dijadikan-Nya aku seorang Nabi. Dijadikan-Nya aku pembawa berkah dimana saja aku berada dan dipesankan-Nya kepadaku melakukan sembahyang dan zakat selama hidupku. Dan berbaktilah aku pada ibuku, bukan dijadikan-Nya aku orang congkak yang celaka. Bahagialah aku tatkala aku dilahirkan, tatkala aku mati, dan tatkala aku hidup kembali!”
Para pemuka Istana terkejut karena itu adalah perkataan yang sama dengan yang mengeluarkan Yesus Kristus. Raja Najasyi kemudian berkata, kata-kata ini dan yang dibawa Musa berasal dari sumber yang sama. Ia lalu mengusir kedua orang Quraisy, menolak menyerahkan umat muslim.
Esok hari, ‘Amr bin ‘l-‘Ash kembali menghadap Raja. Ia mengatakan, Islam sudah menghina Isa anak Maryam.
Ja’far kemudian menjelaskan bahwa Islam mengakui adanya Isa. Seperti yang dikatakan Muhammad, Isa adalah hamba Allah dan Utusan-Nya. Ruh-Nya dan firman-Nya yang disampaikan kepada perawan Maryam. Singkatnya, umat Islam mengakui Isa, mengenal Kristen, dan menyembah Allah.
Raja Najasyi kemudian mengambil sebatang tongkat dan menggoreskannya di tanah. Dengan gembira ia berujar, “Antara agama tuan-tuan dan agama kami sebenarnya tidak lebih dari garis ini.”
Maka sejak saat itu, Raja Najasyi dengan agama Nasrani yang masih murni, melindungi pertumbuhan Islam di awal kelahirannya. Sebab Islam tidak menafikan agama mereka, melainkan mengakuinya, dan melengkapinya.
Sumber: Sejarah Hidup Muhammad (Muhammad Husein Haekal); Litera antar nusa, 1995
Posting Komentar