BREAKING NEWS

Join the Club

Senin, 01 Mei 2017

Kembali ke Baitullah

Makkah, Foto: Khanasya
MKE, Jakarta - Nabi Muhammad SAW berkali-kali menengadahkan wajahnya ke langit, memohon agar Allah menurunkan firman hingga kiblat tak lagi mengarah ke Baitul Maqdis di Jerusalem. Kerinduannya pada Ka’bah di Mekkah semakin memuncak saja, dan begitulah juga yang tampak dari kaumnya – mereka yang harus meninggalkan tanah kelahiran demi mempertahankan agama Allah. Hijrah ke Madinah.

Kerinduan berdamping dengan kegelisahan. Rasulullah mendambakan sebuah arah kiblat yang baru, yang tidak serupa dengan arah kiblat Kaum Yahudi. Sebuah arah kiblat yang menegaskan Islam datang sebagai agama baru, murni, sekaligus melanjutkan apa yang sudah disampaikan Nabi dan Rasul terdahulu.

Nabi Muhammad SAW berkali-kali memohon dan berdoa. Berharap Allah mendengar jeritan hatinya.

Hijrah keluar Mekkah
Setelah wafatnya Abu Thalib, tidak ada lagi sosok pelindung Nabi di Mekkah. Sehingga Kaum Quraisy pun mengganas. Berbagai usaha mereka lakukan untuk menodai Islam, dan membunuh Nabi. Salah satu contoh gangguan adalah ketika seorang Quraisy mencegat Nabi di jalan, lalu menyiram kepalanya dengan tanah, sampai Fatimah Az-Zahra membersihkannya sambil menangis karena sedih. Abu Bakar pun, yang sewaktu itu adalah tokoh terhormat di Mekkah, kehilangan sebagian besar hartanya dan diperlakukan dengan buruk.

Agar tidak terlalu mencolok, maka mulailah Kaum Muslimin hijrah dalam kelompok-kelompok kecil ke Yathrib, yang kemudian lebih dikenal sebagai Al-Madina Al-Munawwara atau Kota Madinah. Madinah memiliki nilai khusus dimata Nabi. Selain bahwa disana Islam berkembang pesat, Madinah adalah tempat dimana kakeknya, Abdul Muthallib, dibesarkan. Juga tempat dimana ayahnya dikuburkan. Rasulullah masih ingat, saat ia menemani Ibunya, Aminah, menziarahi kubur tersebut di usia enam tahun. Maka Madinah tidak hanya terikat erat padanya dari sisi Islam, tapi juga dari segi masa lalunya.

Penduduk Madinah sudah lama mendengar perlakukan buruk yang diterima Rasulullah di Mekkah sehingga mereka begitu bersukacita mendengar kabar kedatangan beliau. Bahkan penduduk yang belum memeluk Islam pun menunggu-nunggu kedatangannya karena penasaran. Seperti apakah sosok Nabi yang dikabarkan begitu bijaksana dan telah lolos dari serangkaian usaha pembunuhan ini? Begitu Nabi memasuki perbatasan Madinah pada 4 September 622, seorang Yahudi pun berteriak, “Hai penduduk Yathrib, mereka sudah datang!”

Berbeda 180 derajat dengan keadaan di Mekkah, Rasulullah disini disambut dengan nyanyian para wanita dan permintaan penduduk agar Nabi mau tinggal di rumah mereka. Dengan tenang Nabi melepas Qaswa, unta betinanya, lalu memperhatikan dimana berhentinya. Ternyata unta tersebut berhenti di lokasi penjemuran kurma milik Sahl dan Suhail bin Amr – dua anak yatim dari Banu An-Najjar. Maka Nabi pun bernegosiasi untuk membeli tempat itu, disitu pula Masjid Nabawi didirikan.
Bergabung dengan Masyarakat Madinah

Empat kelompok masyarakat hidup berdampingan di Madinah. Yang pertama adalah Suku Aws dan Khazraj yang sudah memeluk Islam, dan dipanggil Kaum Ansar – Sang Penolong; yang kedua adalah Kaum Muhajirun, yaitu para muslim yang ikut hijrah dari Mekkah ke Madinah; yang ketiga adalah Kaum Yahudi yang terdiri dari 3 suku yang kuat; dan yang keempat adalah mereka yang disebut orang-orang Munafik.

Orang-orang Munafik berasal dari Suku Aws dan Khazraj yang menolak memeluk Islam. Seiring dengan jumlah mereka yang semakin hari semakin menipis, mereka secara lisan mengaku percaya kepada Allah SWT dan Rasulnya, tapi melakukan tindakan perlawanan di baliknya. Abdullah Ibnu Ubay adalah tokoh di balik gerakan ini, sebab sebelum Rasulullah datang, ia sangat berharap dirinya naik menjadi Raja. Meski akhirnya ia ikut memeluk Islam, tapi semangatnya tidak terlihat. Terkadang, Ibnu Ubbay bersikap kasar pada Rasulullah, sampai-sampai Kaum Anshar menarik Rasulullah ke tepi dan memohon, “Jangan bersikap keras kepadanya, karena sebelum Tuhan mengirimkan anda kepada kami, kami membuat sebuah mahkota baginya, dan demi Tuhan dia mengira anda telah merampas peluangnya menjadi raja.” Rasulullah pun bersabar dengan memberi Ibnu Ubbay tempat terhormat di Masjid dan kesempatan berkhotbah tiap minggu.

Kemunafikan Kaum Yahudi
Lain lagi dengan sikap Kaum Yahudi. Rasulullah awalnya diterima dengan sangat baik, sebab mereka pikir bisa memanfaatkan kaum muslim untuk berperang dengan Umat Kristiani dari Najran. Rasulullah pun bersikap terbuka kepada Kaum Yahudi dengan membuat kesepakatan bahwa mereka tetap boleh menjalankan agamanya dengan damai dan tenang di Madinah. Tidak jarang Rasulullah berdiskusi dan berkumpul di tengah-tengah mereka, seperti halnya dengan umat muslim.

Sikap Kaum Yahudi berubah 180 derajat setelah Islamnya tokoh agama Yahudi yang meyakini Rasulullah sebagai sosok yang tercantum dalam kitab suci mereka. Rasulullah kemudian memberi nama baru bagi tokoh ini, Abdullah Ibnu Salam. Kaum Yahudi, mengetahui hal tersebut, membuka kedoknya sendiri dengan mencemooh keislaman Abdullah. Selain itu, mereka juga sudah mulai melihat sepertinya umat muslim tidak akan membantu peperangan mereka.

Berbagai cara mereka lakukan untuk menipu Rasulullah. Mulai dari menanyakan kejadian berabad-abad yang lalu, yang menurut mereka, hanya akan diketahui oleh seorang Nabi; mengajak Rasulullah menjadi hakim yang tidak jujur, dan menjanjikan banyak orang Yahudi akan menjadi Islam setelahnya; mengadu domba kembali suku Al-Aws dan Al-Khazraj yang kini bersaudara dalam keimanan; atau bahkan berbisik-bisik menyebarkan rumor di sekitar Masjid – sampai akhirnya Rasulullah mengusir mereka.

Karena tidak juga bisa menghasut umat muslim, akhirnya para pemuka Kaum Yahudi menyatakan bahwa para Nabi pendahulu menuju ke Jerusalem, dan seharusnya Rasulullah pergi ke sana pula. Madinah hanyalah lokasi transit antara Mekkah-Jerusalem. Rasulullah pun sepenuhnya paham maksud ’pengusiran’ ini.

Kerinduan pun Terjawab
Maka pasca 17 bulan hijrah, Rasulullah semakin gelisah menyadari kiblat shalat Umat Muslim searah dengan Kaum Yahudi. Ia berharap Allah menurunkan petunjuk untuk menentukan arah kiblat yang baru, yang bisa menjadi karakteristik Islam dan sejalan dengan agama Ibrahim dan Ismail. Tidak lama kemudian turun firman Allah:

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhan-nya; dan Allah sekali-kali tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan. (Al-Baqarah: 144)

Kaum Yahudi, tidak senang dengan peristiwa ini. Sebab Islam akan berdiri sendiri, bebas dari bayang-bayang Yahudi. Di sisi lain, Kitab Suci Yahudi sudah menyebutkan bahwa Nabi Terakhir akan merubah arah kiblat – persis seperti yang dilakukan Rasulullah – namun mereka enggan mengakui. Mereka berusaha membujuk agar Umat Islam kembali menghadap Jerusalem, tapi ajakan itu ditolak.

Sebab ketentuan Allah SWT ini sangat menggembirakan bagi umat muslim. Selain bahwa Mekkah adalah tempat pertama mereka memeluk Islam, Mekkah juga kampung halaman Rasulullah. Kerinduan akan Mekkah pun sudah menyesakkan bagi para imigran, meski tidak ada yang mau mengakuinya demi bertahan pada Islam. Allah Maha Mengetahui Isi Hati, dengan izin-Nya lah diberi penyembuh kerinduan ini.

Maka sejak itu dimana pun Umat Islam berada, ke Mekkah mereka menghadapkan shalat. Menghadap pada Baitullah, tempat dimana bangunan untuk menyembah Allah SWT pertama kali dibangun. Memberi umat Islam identitas yang tegas bahwa Islam adalah agama terakhir yang benar dan sesuai dengan apa yang disebutkan kitab-kitab sebelumnya.

Posting Komentar

 
Copyright © 2014 Majalah Kubah Emas Powered By Blogger.