BREAKING NEWS

Join the Club

Senin, 08 Mei 2017

Kakiku Kaku, Kakiku Kelu

Ilustrasi : repro NET

MKE, Jakarta - Siapa pun pasti panik, saat bangun tidur kedua kaki tak bisa digerakkan. Lumpuh! Hal inilah yang dirasakan Zainal Abidin tiga tahun lalu. Beragam pengobatan telah ia jalani, bahkan dokter telah memvonis untuk operasi. Lebih lengkapnya ikuti cerita yang dituturkan Zaenal langsung berikut ini.
“Operasi…!” Itulah momok yang paling saya takutkan. Memang vonis dokter ini sudah kami sekeluarga perkirakan, tapi ketika hal ini benar-benar diucapkan dokter, jujur kami tidak siap.
Uang kami sudah habis-habisan untuk mengobati kaki saya yang lumpuh melalui pengobatan alternatif dan medis yang relatif mahal. Selama tiga minggu kelumpuhan saya otomatis tidak ada pemasukan sama sekali buat keluarga, karena saya berhenti dagang. Padahal yang harus saya hidupi ada delapan nyawa, karena salah satu anak saya yang sudah keluarga masih bergabung dengan kami. Lebih dari itu, saya memang takut operasi.

Kejadian itu berawal dari akhir tahun 2007 lalu. Di rumah kami di Ciganjur-Jakarta Selatan pada hari Senin subuh saat bagun tidur kedua kaki saya terasa kaku dan sakit digerakkan. Semula saya kira karena lelah, yang setelah digerak-gerakkan bisa kembali normal. Bahkan, ketika saya minta istri untuk memapah ke kamar mandi untuk berwudhu, dikira bercanda. “Idih, udah umur 65 tahun Bapak kok genit sih, minta dipapah segala hehehe,” katanya waktu itu.

Pagi itu saya sholat Subuh sambil menahan rasa kelu dan nyeri di setiap ruas kaki. Dan hari itu saya juga memutuskan untuk istirahat, dengan harapan kedua kaki saya akan segera pulih. Namun di luar perkiraan, di hari kedua justru kaki saya tidak ada rasa apa-apa. Saya cubit pun nggak terasa sakit. Ya, saya lumpuh!

Saat itu saya panik dan berteriak-teriak seperti orang stres, hingga disadarkan mantu saya untuk beristighfar. “Astaghfirulloh hal ‘Adzim…!” kata saya berulang-ulang sambil berlinang air mata, bingung mau ngapain. Segera saya dibawa Puskesmas, namun dari pemeriksaan awal saya dirujuk ke rumah sakit. Saya pun menjalani opname untuk melihat perkembangan kedua kaki saya setelah ditangani secara medis.

Namun setelah seminggu tidak ada perkembangan yang berarti, oleh keluarga saya diambil dan berobat kepada dokter spesialis di Jakarta Barat atas anjuran besan. Disamping itu saya juga menjalani pengobatan alternatif di daerah Puncak Bogor dan mengkonsumsi jamu yang direbus dari Jawa.

Selama proses pengobatan, berat badan saya turun drastis. Yang juga mengganggu pikiran saya, tabungan sudah ludes dan satu-satu barang di rumah juga mulai dijual buat pengobatan saya dan makan keluarga. Besan dan beberapa famili ada yang membantu, tapi juga terbatas.  

Sampai suatu saat dokter spesialis itu menganjurkan operasi dengan merujuk ke sebuah rumah sakit di Jakarta Pusat. Seperti saya ceritakan di awal, saya menolak dan memilih dirawat di rumah. Di rumah yang saya lakukan hanya kepasrahan. Bila Yang Minitipkan Nyawa berkehendak mau mengambilnya, saya siap.

Selain beribadah, bercanda dengan cucu dan menonton televisi sedikit mengurangi kebosanan di atas tempat tidur. Nah di awal tahun 2008, tanpa sengaja saya melihat tayangan TV yang mengupas tentang Masjid Kubah Emas. Entah kenapa, saat itu saya begitu tertarik. Bahkan sempat sedikit rebutan dengan cucu saya hehehe…

Di mata saya, Masjid Kubah Emas seolah Masjidil Haram. Allahu Akbar! Kala itu hati saya bergetar hebat, dan…yang luput sari perhatian saya, tapi menurut anak saya, kaki saya saat itu juga bergetar. Pada kesempatan berbeda, kembali saya melihat kembali tayangan Masjid Kubah Emas untuk latar azdan sebuah stasiun TV, dan kejadian yang saya alami kembali terjadi.

Sampai entah tayangan Masjid Kubah Emas keberapa yang saya lihat, spontan saya berdiri dari tempat tidur sambil berteriak ke istri di dapur. “Bu, kita berangkat ke masjid yok! Kita berangkat ke masjid!” Oleh istri saya dikira mengigau. Tapi begitu saya muncul di dapur dengan tertatih-tatih sambil berpegangan di tembok, istri saya berteriak, “Subhanalloh, Bapak bisa berdiri…!” Namun, teriakan tadi mungkin menyadarkan, sehingga saya jatuh terduduk di lantai.

Keluarga geger. Di satu sisi senang bisa berdiri, namun di sisi lain khawatir jangan-jangan itu permintaan saya yang terakhir. Dengan meminjam mobil tetangga, hari itu kami berangkat ke Masjid Kubah Emas yang sebenarnya nggak jauh-jauh amat dari Ciganjur. Begitu masuk komplek masjid, segera saya keluar tanpa kursi roda, tapi benar-benar berdiri. Waktu itu setiap sudut masjid saya kunjungi dan setiap orang yang bertemu saya sapa.

Alhamdulillah, sejak saat itu pelan-pelan kedua kaki saya kembali normal. Saya sebenarnya enggan menceritakan ini, khawatir ini sebuah riya’. Namun kalau Allah SWT berkehendak, tidak ada yang mampu menghalanginya. Allahu Akbar…!

Posting Komentar

 
Copyright © 2014 Majalah Kubah Emas Powered By Blogger.