Ilustrasi : NET |
MKE, Jakarta - Jangankan berjamaah di surau, untuk menjalankan sholat saja warga kampung di jalur Pantura itu ogah-ogahan. Justru mereka sehari-hari larut dalam kegiatan yang cenderung negatif. Namun sebuah perjalanan telah menggoyang hati mereka. Seperti apa peristiwa religi yang mereka alami itu?
Gerak tubuh penari Jaipongan itu terlihat erotis mengikuti irama gendang. Suitan nakal warga menimpali rekan mereka yang maju ke depan untuk turut ngibing (joget) bersama sang penari. Bau minuman keras menyeruak di sela hingar-bingar tetabuhan yang memekakkan telinga, geolan penari dan tawa lepas warga.
Padahal tak jauh dari lokasi hiburan yang menjadi pemberhentian truk di kawasan Pantura, Kabupaten Karawang ini, sedang berkumandang adzan Isya’ dari sebuah surau kecil Al-Muhajirin. “Itulah kondisi kampung kami 5-7 tahun lalu. Pemandangan yang terjadi di surau, sangat kontras dengan pemandangan dari warung-warung remang yang berdiri di kampung jalur Pantura sini,” ujar Ustadz Makmun Jauhari mengenang.
Ketika itu di kampung yang berpenduduk sekitar 150 kepala keluarga tersebut benar-benar tidak ada kegiatan keagamaan sama sekali, kecuali sholat berjamaah yang hanya dilakukan Ustd Makmun bersama istrinya saja. Surau beralas tikar butut dengan daun pintu kayu triplek itu seolah menggambarkan wujud tipisnya keimanan warga di masa itu.
Sampai suatu saat di pertengahan tahun 2007, sejumlah remaja bertandang ke rumah Ustd Makmun untuk mengajak berziarah ke Masjid Kubah Emas, dan mendaulatnya memimpin ziarah itu. Awalnya Ustd Makmun menyangka itu hanya main-main, karena dia tahu para remaja itu bisa dibilang preman kampung.
“Namun subhanallah, mereka meyakinkan saya dengan menunjukkan beberapa lembar daftar warga yang akan ikut kegiatan mulia itu. Saya pun saat itu tahu Masjid Kubah Emas hanya lewat media. Maka saya pun segera mejawab: Insyaallah saya sanggup!” ujar Ustd Makmun yang sering kewalahan merubah tabiat warganya, walau ia sering diundang berdakwah di pelosok kampung.
Ia semakin terkaget-kaget ketika warga yang saweran ingin mengikuti ziarah jumlahnya membengkak hanya hitungan hari. “Jujur, saya tidak mengira antusias warga seperti itu. Aparat desa yang sebelumnya masa bodo, tiba-tiba turut sibuk membantu. Dan akhirnya dengan menggunakan bus ukuran besar saat itu kami berangkat berziarah,” ujar Ustd Makmun senang.
Rasa penat menempuh perjalanan Karawang-Depok menjadi sirna, ketika rombongan memasuki komplek Masjid Kubah Emas. “Saat itu banyak warga meneteskan air mata ketika mendengarkan kumandang adzan, padahal mereka setiap hari juga mendengarkan adzan yang saya seru dari surau Al-Muhajirin,” ujar Ustd Makmun haru. “Bukan hanya kemegahan bangunan Masjid Kubah Emas saja yang menggetarkan kami, tapi aura dari ritual keagamaan seperti sholat berjamaahnya begitu menentramkan hati kami,” tambahnya.
Mungkin sebagian warga, lanjutnya, mengikuti ziarah ke Masjid Kubah Emas kala itu hanya sekedar berwisata. Namun, apa yang mereka lihat dan apa yang mereka rasakan seolah gedoran keras di hari mereka. “Allahu Akbar...Allah Maha Besar! Dialah yang membolak-balikkan hati umatnya. Dan melalui perjalanan ziarah waktu itulah kembali hidupnya nafas keislaman di kampung kami,” kata Ustd Makmun.
Kini kampung di perlintasan jalur Patura itu terus berbenah di bidang keagamaan. Menjelang sholat Maghrib anak-anak terlihat berlarian di halaman masjid Al-Muhajirin, yang dulu berupa surau kecil. Masjid itu juga makmur dengan beragam kegiatan keagamaan, seperti pengajian, belajar membaca Al-Qur’an, hingga peringatan Maulid Nabi SAW.
Goyang Karawang tetap berlangsung, tapi jauh dari konotasi negatif, mengingat itu sebenarnya bagian dari kesenian daerah. “Yang semarak bukan lagi goyang Karawang, tapi gerak sholat di masjid Al-Muhajirin,” kata Ustd Makmun kepada Majalah Kubah Emas ketika ditemui saat memimpin rombongan ziarah warganya untuk kesekian-kalinya, di Aula Masjid Kubah Emas belum lama ini.
Posting Komentar